Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi; Dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir At-Tilimsani
Judul Asli: An-Nushush Al-Islamiyyah Fi Ar-Rad 'Ala Madzhab Al-Wahabiyyah
Penulis: KH. Muhammad Faqih Maskumambang (1857-1937)
Penerjemah: KH. Abdul Aziz Masyhuri
Kata Pengantar: KH. Maimun Zubair
Jumlah Halaman: 304 hal.
Bahasa: Indonesia - Arab
Penerbit: Sahifa
Harga: Rp 80.000.-
Sinopsis:
Buku karya Wakil Rais Akbar dan Pendiri
Nahdlatul Ulama, KH Muhammad Faqih Maskumambang ini ditulis tahun 1922
atau empat tahun sebelum kelahiran Nahdlatul Ulama (NU). Kitab berjudul
“An-Nushush al-Isamiyyah fi Radd al-Wahhabiyyah” ini adalah karangan
berbahasa Arab pertama yang membantah paham Islam anti-madzhab seperti
Wahabi yang ditulis ulama asal Indonesia. Ini membuktikan persoalan
Wahabi sudah menjadi sedemikian momok di awal abad ke-20.
KH Muhammad Faqih Maskumambang sendiri
adalah putra keempat KH Abdul Djabbar yang masih merupakan keturunan
dari Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya. Ia memimpin Pesantren
Maskumambang mulai tahun 1325H. sampai 1353 H. Ia seorang ulama besar
yang terkenal di pulau Jawa, bahkan sampai keluar Jawa. Ia ahli dalam
bidang Ilmu Tafsir, Tauhid, Fiqih, Nahwu dan Balaghah, Mantiq, Ushul
Fiqih dan lain-lain. Ia sangat aktif dalam mengajar.
Ia juga menulis beberapa buku. Salah
satu buku karya beliau yang masih dapat dibaca adalah “Al-Mandzumah
Al-Dailah fi Awaili Al-Asyhur Al-Qamariyah” yang berisi tentang ilmu
falaq (astronomi). Buku yang terdiri dari dua teks, yakni teks pertama
berupa nadzam, sedang teks kedua berisi natsar (prosa) ini ditemukan
dalam koleksi KH Abdul Hadi (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan tahun
1921-1971), sebagai salah satu buku yang diajarkan kepadanya ketika
belajar kepada KH Faqih Maskumambang pada tahun 1930.
Penulisan buku yang terdiri dari nadhom
dan prosa ini menunjukkan bahwa beliau telah mengadakan pendidikan ilmu
fisika astronomi dengan cara yang menyenangkan. Beliau juga menjadikan
agama mampu melintasi ilmu fisika-astronomi, ilmu sosial pendidikan, dan
ilmu-ilmu humaniora (sastra). Dan pendidikan dengan cara yang
menyenangkan ini telah tertata rapi di Pesantren Maskumambang tempo
dulu. Kemasyhuran dan kedalaman pengetahuan beliau ini menjadikan Pondok
Pesantren Maskumambang sangat terkenal dan santri-santrinya pun
berdatangan dari pelbagai daerah.
Pada tahun 1937 M bertepatan dengan
tahun 1353 H, KH Muhammad Faqih berpulang ke Rahmatullah dalam usia 80
tahun dengan meninggalkan belasan karya tulis.
Kata Pengantar KH. Maimun Zubair
“Kiai Faqih bin Abdul Jabar Maskumambang memiliki karisma—sekaligus
popularitas—yang sedemikan tinggi di kalangan Jam’iyah Nahdlatul Ulama
(NU). Ini tidak saja karena beliau salah seorang ulama yang memiliki
peran penting di tubuh NU sejak kali pertama ia dibentuk, tetapi juga
karena beliau sahabat karib Kiai Hasyim Asy’ari. Kalau kita teleusuri
riwayat kehidupan mereka, kita akan dapati bahwa keduanya merupakan
sahabat seperjuangan semenjak “nyantri” baik ketika di tanah suci
Makkah, maupun di pondok pesantren Syeikhana Khalil Bangkalan. Bahkan
dalam perkembangan selanjutnya, mereka berdua sama-sama menjadi pengurus
inti NU: Kiai Hasyim menjadi Rais ‘Am dan Kiai Faqih menjadi Naib ‘Am”.
0 komentar :
Posting Komentar