Dokumen Fiqih Yang Terlupakan
Penulis: Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 65.000
Sinopsis:
Saat mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul
Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan lancar
membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor, KH. Imam
Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh Muhammadiyah itu.
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Sumber:
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
Saat
mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul
Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan
lancar membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern
Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh
Muhammadiyah itu.
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU
Saat
mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul
Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan
lancar membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern
Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh
Muhammadiyah itu.
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU
Saat
mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul
Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan
lancar membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern
Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh
Muhammadiyah itu.
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU
Saat
mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul
Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan
lancar membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern
Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh
Muhammadiyah itu.
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU
0 komentar :
Posting Komentar