Selamat datang di Toko Buku Aswaja. Kami bantu Anda untuk mendapatkan buku-buku Islam berpaham Ahlussunnah wal Jama'ah. Silakan hubungi sms center kami. Kami akan melayani Anda dengan senang hati.

Rabu, 25 Juni 2014

MUHAMMADIYAH ITU NU!

Dokumen Fiqih Yang Terlupakan

Penulis: Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 65.000

Sinopsis:

Saat mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan lancar membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh Muhammadiyah itu.

“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.

Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.

Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.

Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.

Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.

Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).

Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.

“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.

Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.

Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.

Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.

Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.

Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”

Sumber:
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014



Saat mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan lancar membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh Muhammadiyah itu.
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU

Saat mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan lancar membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh Muhammadiyah itu.
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU


Saat mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan lancar membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh Muhammadiyah itu.
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU


Saat mengimami salat subuh di sebuah masjid di lingkungan warga Nahdlatul Ulama, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dengan fasih dan lancar membaca qunut. Adalah pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang kerap mengungkapkan keluhuran budi tokoh Muhammadiyah itu.
“Buya dikenal amat toleran menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah khilafiyyah dan furu’iyya,” ujar Zarkasyi suatu ketika.
Ahmad Dahlan dan warga Muhammadiyah pada masanya secara fiqih memang berpegang pada mahzab Imam Syafi’i. Amalan ibadah mazhab ini tetap dipraktekkan warga NU hingga sekarang. Hal itu bisa dipahami karena Kiai Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yang mendirikan NU sama-sama satu nasab dari Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Juga sama-sama menjadi murid Syekh Shaleh Darat di Semarang, yang merujuk pada mazhab Syafi’i.
Sekurangnya ada 35 isu fikih Muhammadiyah yang prakteknya sama dengan NU. Hal itu tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid III terbitan 1924. Pameo klasik “satu guru, satu ilmu, jangan ganggu” pun benar-benar terjaga di antara kedua warga organisasi massa tersebut kala itu. Lantas, kenapa dan kapan Muhammadiyah berubah? Tentu secara bertahap.
Gerakan awal Muhammadiyah di bawah Kiai Dahlan lebih pada pembauran tafsir sosial keagamaan. Muhammadiyah sibuk mengurusi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran.
Namun, ketika dia membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, bibit-bibit perubahan pun masuk. Benteng tradisi Muhammadiyah melemah, dan fikih mazhab Syafi’i pun lambat laun tanggal.
Pada 1925, dua tahun setelah Kiai Dahlan berpulang, Muhammadiyah mulai menerima paham Wahhabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud, yang hendak mendirikan kekhalifan Wahhabi. Lantas Muhammadiyah membuat benteng keterbukaan berlabel “Islam tanpa mazhab” sekaligus menjebol tradisi umat Islam dengan slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat).
Beruntung, masih ada KH Mas Mansur, yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927 agar Muhammadiyah tak terseret ke dalam arus deras Wahhabi global dukungan Inggris dan negara-negara Barat. Sepanjang pendiriaan, 1912 hingga 1967, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin sedikit.
“Mazhab ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut lewat muktamar Pekalongan, 1972,” tulis Mochamad Ali Shodikin, penulis buku ini.
Dengan demikian, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya bagi kebanyakan warga NU, langkah itu kian menyulitkan mencari alim ulama di lingkungan saudara tuanya. Alim ulama yang memahami jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah kala itu.
Ali membagi fase atau masa perubahan masa Muhammadiyah menjadi empat, yaitu masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran Syafi’i-Wahhabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995), dan Masa Pembauran Himpunan Putusan Tarjih-Globalisasi (1995-kini). Di buku ini, semua itu terhimpun dalam bab Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
Sebagai pelengkap, Ali menyertakan salinan dari kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Ali merujuk Himpunan Putusan Tarjih, Tanya-Jawab Agama, situs resmi Muhammadiyah, dan buku-buku terbitan Suara Muhammadiyah sebagai sumber kepustakaan.
Pemerhati perkembangan Islam di Nusantara itu mengaku sempat mengalami dilema hingga perlu lima kali melakukan revisi naskah buku ini. Ia khawatir penerbitan buku ini akan menurunkan hujan fitnah yang akan menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Padahal tujuan utamanya adalah mengugah warga kedua ormas untuk bersatu, bersama-sama merancang masa depan negeri ini.
Seperti diingatkan KH Thoba Abdurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarya, dalam pengantarya, “Buku ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah pukulan. Ini adalah jabat tangan sejarah dan rangkulan persaudaraan.”
Media: Majalah Detik
Edisi : 14-20 April 2014
- See more at: http://www.mizan.com/detail/1304-Jabat-Tangan-Sejarah-Muhammadiyah-dan-NU#.U6p5J0BtxvU
Posted on 14.31 / 0 komentar / Read More

Rabu, 11 Juni 2014

ASH-SHARFUL MUYASSAR

Sharf Mudah dan Praktis

Penulis: M. Abdullah Habib
Penerbit: Aswaja Pressindo
Harga: Rp 36.000.-

Sinopsis:

Di antara cabang ilmu bahasa Arab adalah ilmu Sharaf. Ilmu sharaf membahas bentuk-bentuk kalimah (kata). Buku ini adalah buku yang membahas tentang Sharaf secara sederhana dan mudah dipahami sehingga buku ini dapat dijadikan sebagai tangga dasar dalam memahami Sharaf.

Metode buku ini dalam pengenalan Sharaf seperti halnya metide iqra' dalam pengenalan huruf-huruf hijaiyah. Itulah sebabnya penulis memberi judul buku ini "Ash-Sharful Muyassar", yang artinya Sharaf Mudah.

Dalam buku ini penulis berusaha meminimalkan penyebutan istilah-istilah Sharaf sebelum masuk ke materi yang di dalamnya istilah-istilah itu akan digunakan. Contoh-contoh kata untuk bahan latihan tashrif juga dicantumkan di buku ini. Contoh kata tersebut penulis pilihkan kata yang sering dipakai dalam kitab-kitab berbahasa Arab.

Dengan mempelajari ilmu Sharaf melalui buku kecil ini diharapkan pelajar/santri mampu mentashrif, artinya mengubah satu bentuk kata ke bentuk lainnya sesuai makna yang diinginkan.

Membaca buku ini hendaknya secara berurutan, sebelum satu masalah benar-benar faham jangan diteruskan ke permasalahan berikutnya. 

Selamat belajar..
Posted on 16.58 / 0 komentar / Read More

AN-NAHWUL MUYASSAR

Metode Praktis Belajar Bahasa Arab bagi Semua Kalangan

Penulis: M. Abdullah Habib
Penerbit: Aswaja Pressindo
Harga: Rp 38.000

Sinopsis:

Ilmu Nahwu merupakan salah satu di antara ilmu bahasa Arab. Di dalamnya dibicarakan bentuk-bentuk susunan kalimat serta penentuan harakat akhir setiap kata dalam kalimat tersebut. Dengan mempelajari ilmu ini seseorang akan lebih mudah memahami kalimat dalam bahasa Arab karena ia dapat mengetahui kedudukan setiap kata dalam kalima tersebut, baik sebagai mubtada', khabar, fa'il, maf'ul atau lainnya.

Kajian utama dalam buku ini dititikberatkan pada tata bahasa yang sering dipergunakan dalam kitab-kitab bahasa Arab dengan sasaran para pemula. Diharapkan setelah membaca buku ini mereka dapat memahami arah dan tujuan serta kegunaan ilmu ini. Biasanya santri/pelajar yang sudah memahami dasar ilmu ini ia akan selalu berusaha mengembangkannya, di saat membaca al-Qur'an dan ia temukan bentuk susunan kalimat yang belum ia ketahui, ia biasanya akan mencai jawabannya.

Membaca buku ini hendaknya secara berurutan dan bagi pemula hendaknya diawali membaca As-Sharful Muyassar terlebih dahulu, karena buku ini merupakan kelanjutannya.


Posted on 13.39 / 0 komentar / Read More

Rabu, 04 Juni 2014

REKAM JEJAK RADIKALISME SALAFI WAHABI

Penulis: Achmad Imron R.
Penerbit: Khalista
Harga: Rp 60.000.-

Sinopsis:

Wahabi atau wahhabiyah merupakan sebutan bagi pengikut paham Muhammad bin Abdil Wahhab. Sekilas gerakan puritan yang belakangan akrab disebut Salafi Wahabi ini terlihat paling Islam, paling ahli mengafirkan sesama muslim, paling bertauhid dan seterusnya. Namun dibalik itu, doktrin dan ajarannya sangat berbahaya dan harus dijauhi umat Islam. Sejak awal kemunculannya sampai sekarang, sekte Wahabi selalu mengalami pertentangan dengan mayoritas kaum muslimin yang sejak dulu berpaham Ahlussunnah wal Jama'ah.

Dalam konteks ini, buku Rekam Jejak Radikalisme Salafi Wahabi hadir menguak sejarah, doktrin, dan akidah Wahabi yang destruktif, kerap menyulut konflik dan perpecahan. Secara sistematis buku ini membahas Sejarah Radikalisme Wahabi, Wahabi Tanduk Setan dari Timur, Doktrin Wahabi Penyulut Konflik Umat Islam, Tauhid Rububiyah-Uluhiyah Wahabi, Akidah Tajsim Wahabi, dan Kontradiksi Akidah Wahabi. Datanya pun sangat valid dan lengkap disertai scan referensi-referensi utama wahabi, serta diurai secara sistematis dan ilmiah.

Dengan membacanya kaum muslimin dapat lebih memahami dan mewaspadai doktrin-doktrin menyimpang yang disebarluaskan Salafi Wahabi, sehingga tidak terjebak dalam berbagai propagandanya yang selalu mengatasnamakan Islam.
Posted on 06.30 / 0 komentar / Read More
 
Copyright © 2011 . Toko Buku ASWAJA . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates